
Tidak mudah buat seorang ilmuwan untuk sukses berkarier di perusahaan.
Setidaknya demikianlah keadaannya di Indonesia. Bolehlah ditengok
sebuah perusahaan multinasional yang menawarkan karier menjanjikan buat
ilmuwan, Intel Corporation. Salah seorang bos Intel yang berlatar
belakang ilmuwan adalah Christos Georgiopoulos, Vice President, Software
and Services Group.
Beberapa hari lalu, Georgiopoulos berkunjung pertama kalinya sebagai
eksekutif perusahaan semikonduktor itu ke Indonesia. Usai
menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif di Jakarta, alumni Tufts University ini kembali ke
markasnya di Seattle pada hari yang sama. Karena itu, jadwalnya
dimampatkan dalam satu hari sehingga hanya bisa berbagi 30 menit dalam
sebuah wawancara tertutup dengan beberapa wartawan.
Meski agak tergesa, pria berusia kepala 5 ini menyempatkan diri bercerita tentang dirinya kepada SWA.
Dulunya Anda seorang ilmuwan. Mengapa pindah ke dunia perusahaan?
Benar, saya seorang fisikawan. Sejak tahun 1984, saya bekerja di pusat
penelitian nuklir Eropa bernama CERN, di Jenewa. Saya melakukan banyak
eksperimen, menganalisis data, dan mengerjakan program komputasi. Pada
dasarnya, fisika adalah soal data, analisis, dan komputasi. Itulah yang
saya lakukan sampai 1999, sejak 1984.
Saya berhenti, sebagian besar karena saya dan rekan-rekan baru saja
menyelesaikan eksperimen besar di CERN. Namanya the large electron
positron collider. Saya dan rekan-rekan ingin membuktikan model standar
fisika. Sebetulnya, kami mengharapkan jawaban yang lebih menarik
daripada itu. Rupanya model standar fisikalah yang benar. Jujur saja,
ini sangat membosankan buat seorang fisikawan. Jadi, saya memutuskan
untuk mengerjakan sesuatu yang berbeda.
Saya punya teman-teman baik di Intel. Saya hubungi mereka. Beberapa minggu kemudian, saya mulai bekerja di situ.
Setelah diterima Intel, apa posisi awal Anda?
Saya mulai dari posisi application engineer di kantor Seattle. Saya
bertugas menangani produk-produk anjungan kerja (workstation) yang
diciptakan Intel pada akhir dasawarsa 1990-an.
Sesulit apa menyesuaikan diri dengan budaya bisnis?
Transisi saya dari budaya ilmiah ke bisnis sebenarnya cukup mudah. Ada
banyak eksperimen besar fisika di dunia yang berkaitan dengan
menghabiskan uang dan mendapatkan uang. Jadi, budayanya sama.
Kadang-kadang kita berpura-pura bahwa ini bukan soal uang. Tapi
sayangnya, memang begitulah kenyataannya.
Lalu kapan Anda menanjak ke posisi sekarang?
Setelah bertahun-tahun, Intel mempertimbangkan bahwa saya mampu
memimpin. Sejak 5 tahun lalu, saya melangkah ke posisi pimpinan. Peran
ini sangat menarik. Dan sifat global dalam bisnis ini benar-benar
mengagumkan. Saya punya anak buah yang tersebar di 27 negara dan 44
kota. Hingga kini, saya sendiri masih bermarkas di Seattle.
Apa Anda ingat tantangan tersulit yang pernah Anda hadapi sepanjang karier di Intel?
Ada banyak sekali tantangan selama di Intel. Saya hampir tidak ingat lagi. Ha ha ha.
Namun, tantangan terbesar, saya harus mengambil keputusan tanpa data
yang cukup. Sebagai pribadi yang tumbuh untuk jadi fisikawan, lingkungan
saya sangat terstruktur. Bisnis ini memang berdasar beberapa data,
namun saya harus ambil keputusan sangat besar. Beriorientasi ke masa
depan, tapi sekaligus riskan. Mengetahui kapan dan bagaimana saya mesti
ambil keputusan membutuhkan keterampilan dan latihan. Dan ini senantiasa
membuat saya terjaga di malam hari. Ketika harus berinvastasi untuk
sebuah korporasi, saya mau melakukannya dengan benar.
Kalau momen yang paling membahagiakan dalam karier Anda di Intel?
Wah, kalau sejak dulu, ada banyak sekali. Tapi, Anda tahu? Pada
akhirnya, yang paling membahagiakan adalah waktu tim dan anak buah saya
diakui atas pekerjaan hebat yang berhasil mereka lakukan. Inilah yang
sungguh mendorong saya, bukan pengakuan atas diri saya. Pengakuan atas
diri sendiri justru terasa tidak penting. Saat kerja tim bisa membawa
suatu dampak, di situlah Anda bisa mengukur diri sendiri.
Apa Anda masih punya mimpi yang lain?
Mimpi lain? Tidak. Ini hebat. Saya melakukan pekerjaan ini karena saya
mencintainya. Saya cukup beruntung sehingga tidak bekerja karena
keharusan semata-mata.